Jumat, 27 Mei 2011

Apakah bisnis budaya kita ?

Menjadi pebisnis bukanlah pilihan utama sebagian masyarakat kita. Orang tua selalu menasihati anaknya supaya sekolah yang benar agar nilai bagus sehingga mudah mencari kerja dengan posisi yang penting. Di dalam masyarakat kita juga masih menganggap orang yang berbisnis alias berusaha sendiri tanpa ada kepastian penghasilan dalam bentuk gaji dianggap sebagai pengangguran. Padahal kalau dikalkulasikan bisa-bisa penghasilan orang yang berbisnis yang dianggap pengangguran itu lebih besar dari penghasilan seorang pegawai  yang di instansi pemerintah maupun swasta dengan posisi yang tinggi. Berbisnis masih dipandang sebelah mata, kurang terhormat, terkesan glamour dan kurang menjanjikan karier cemerlang di

masa mendatang. Sentimen seperti ini berlangsung mulai dari zaman penjajahan Belanda sampai dengan tahun 1980-an. Di zaman ini menjadi guru, dokter, pilot, insinyur, tentara, pegawai negeri lebih bergengsi daripada berbisnis sendiri.
Di pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi melanda negara-negara di Asia, termasuk Indonesia yang terkena imbas paling parah, nilai rupiah turun drastis terhadap dolar Amerika, sehingga banyak perusahaan yang bangkrut yang pada akhirnya banyak pengangguran karena PHK, berlimpahnya suply lulusan baru dari sekolah menengah dan perguruan tinggi. Hal ini membuat orang-orang dihadapkan dua opsi pada dua situasi, apakah mau berkompetisi secara ketat dalam setiap lowongan pekerjaan ataukah mau bertahan hidup dengan jalan sebagai pebisnis.
Dampak dari krisisi ekonomi 1997, banyak kita lihat pedagang kaki lima (PKL) yang bermunculan sebagai dampak dari PHK. Memang sih kita acungkan jempol atas keberanian mereka memulai bisnis, tetapi di sisi lain mereka membuat kesemrawutan lalu lintas, membuat wajah kota terlihat kumuh. Sebenarnya keberanian para korban PHK dengan memulai bisnis menjadi PKL perlu dibina agar bisa menjadi seorang pengusaha yang tangguh kelak, dan ini adalah PR pemerintah.
Tapi kalau saya perhatikan sih arah menuju pembinaan usaha kecil menengah (UKM) melalui kerjasama dengan BUMN besar sudah mulai terlihat, sehingga diharapkan berkembangnya UKM di masa mendatang. Kebijakan pemerintah untuk memajukan bisnis skala kecil dan menengah sudah dirumuskan.
Kembali ke pertanyaan awal apakah bisnis budaya kita ?
Jelas sekali terlihat kalau bisnis bukanlah budaya kita, seperti yang sudah dipaparkan di atas, banyak orang tua yang mengharapkan anaknya bisa mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang baik, yang sepertinya jauh dari pikiran para orang tua untuk sekedar berharap kalau anaknya kelak dapat  menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan lapangan pekerjaan buat orang lain. Kita tentunya ingat, di masa-masa sekolah dulu, kalau guru menanyakan cita-cita kita, sebagian besar anak menjawab ingin jadi dokter, insinyur, pilot, guru, presiden, dan sangat langka bahkan bisa dikatakan tidak ada yang bercita-cita menjadi pengusaha/pebisnis.
Jadi mulai sekarang mari kita tanamkan kepada anak-anak kita agar kelak bisa menjadi pribadi yang tangguh yang mampu menjawab tantangan zaman dengan hidup di pijakan kaki sendiri tanpa harus terus bergantung pada orang lain dan pemerintah, melalui pilihan hidup mulia menjadi seorang pebisnis. Saya bukannya memprovokasi kalau usaha selain bisnis dengan menjadi dokter, insinyur, pilot, guru, PNS, dsb itu merupakan pekerjaan yang kemuliaannya di bawah pebisnis. Tetap kemulian itu ditentukan oleh diri pribadi masing-masing bukan atas profesi. Perlu kita renungkan bahwa disinilah kemahaadilan Tuhan, dengan beragamnya profesi yang dilakoni oleh umat manusia di bumi ini.

SALAM SUKSES BUAT ANDA DAN KITA SEMUA, AMIIN !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar